Tuesday, February 4, 2020

Aneka Jamur, Non-Hewani Paling Umami yang Tumbuh di Hutan

Semasa saya masih kecil hingga usia sekitar sekolah dasar, ayah saya bekerja sebagai kepala sekolah SD yang ditugaskan di desa-desa yang cukup terpencil. Ya, di kota kami juga masih ada desa-desa terpencil yang masih belum tersentuh aneka teknologi modern karena letak geografisnya yang cukup sulit di tempuh. Desanya terletak di pegunungan dan masih ada hutan-hutan kecil di sekitar area-nya. Ya memang bukan hutan belantara, bisa dibilang area hijau yang masih alami dan terjaga.

Yang paling saya ingat adalah asal muasal saya mengenal jamur dan bagaimana aneka masakan jamur bisa menjadi makanan yang selalu tidak pernah bisa saya tolak.



Desa tempat ayah saya bertugas dikelilingi hutan, jalannya masih jelek dan lokasinya di pegunungan. Untuk menempuh perjalanan ke SD dimana beliau bertugas, ayah saya berangkat pagi sekali dan setelah jam sekolah usia beliau bersegera berkemas untuk perjalanan pulang karena jeleknya jalan dan seringkali becek maka beliau membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sampai ke rumah.

Beliau juga cerita harus melewati sungai dengan jembatan menakutkan seperti di film-film, arus sungainya cukup deras sehingga dengan berhati-hati menyeberang pun membutuhkan waktu lama. Di desa itu pun sebagian besar penduduk dan di jalan-jalannya masih belum ada listrik, itulah yang membuat beliau bersegera mulai perjalanan pulang setelah jam sekolah usai agar dapat keluar desa sebelum gelap.

Namun satu hal yang membuat beliau menyukai tempat tugas barunya meskipun medannya susah ditempuh adalah penduduk desa yang ramah-ramah dan jujur. Kebanyakan penduduk desa tersebut bekerja sebagai petani. Mungkin karena kuatnya kultur kekeluargaan atau penghargaan warga yang masih kental terhadap pendidik, tidak jarang mereka memberikan sebagian dari hasil panen kepada guru-guru setelah pertemuan orang tua murid.

Suatu hari ayah saya membawa pulang jamur, memang tidak banyak, namun cukuplah ya untuk makan sekeluarga. Di daerah saya orang biasa menyebutnya dengan jamur barat, namun biasanya dikenal oleh orang Indonesia pada umumnya dengan nama jamur tiram. Karena tidak ingin repot, ibu saya memasaknya dengan mie instant. Saya ingat saat itu saya heran dan apakah makanan dari hutan itu akan enak rasanya. Saya kira waktu itu jamur adalah salah satu jenis tumbuh-tumbuhan.

Agak ragu, saya memandangi mie instan rebus dengan topping jamur rebus yang cukup banyak di dalam mangkuk, makan malam kami hari itu. Tapi karena lapar, akhirnya saya menyuap satu sendok penuh mie instant bersama dengan suwiran makanan dari hutan yang baru pertama saya rasakan.

Dan mudah ditebak, ternyata rasanya enak sekali. Malah menurut saya rasanya mirip daging ayam, hanya lebih kenyal dan gurih sekali alias umami. Jamur jelas adalah makanan non hewan yang punya rasa paling gurih menurut saya. Tidak heran kaldu jamur dan aneka jamur menjadi favorit para vegetarian. Bahkan saya juga suka sekali kaldu jamur. Rasanya cocok sekali disantap dengan mie instan panas apalagi ketika hujan. Sejak itulah jamur yang diolah jadi apa saja menjadi makanan favorit saya.

Saya juga baru nyadar kalau di sekitar ladang kami pada waktu-waktu tertentu bisa ditemukan jamur ini meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit, paling hanya satu buah. Entah mengapa tumbuhnya hanya satu tidak sampai satu rantang kecil seperti yang dibawa pulang ayah saya.

Semakin dewasa kini saya paham bahwa itulah perbedaan lingkungan yang terjaga kelangsungannya dengan yang dimanfaatkan manusia. Makanan dari hutan seperti jamur tumbuh liar, alami dan organik jumlahnya juga bisa lebih banyak kita dapatkan. Berbeda dengan ladang kami yang sudah dimanfaatkan untuk penghasil tanaman pangan secara konsisten sehingga tanahnya memerlukan perawatan tangan manusia agar tetap dalam kondisi baik. Faktor kelembaban dan banyak faktor lain menyebabkan jamur sulit tumbuh liar di ladang kami, berbeda dengan di hutan. Berbeda juga dengan di kota besar tempat daerah resapan air sangat sedikit jumlahnya. Menemukan jamur tiram tumbuh liar belum pernah saya saksikan ketika saya harus merantau dan hidup di kota besar.

Tangan-tangan manusia jugalah yang menyebabkan itu, dan ini masih contoh kecil. Dalam dampak yang lebih luas akibat pembangunan masif tanpa diimbangi dengan pelestarian lingkungan juga menjadi faktor pendorong terjadinya bencana alam. Kita tentu masih ingat dengan banyaknya titik banjir di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini, terutama kota besar.

Belakangan ini populernya pola hidup zero waste dan banyaknya informasi terkait itu cukup menyadarkan saya udah berbuat lebih banyak lagi untuk bumi tempat kita tinggal. Tidak ada planet lain. Alam selalu mampu bertahan dan memulihkan diri sendiri, namun bagaimana dengan kita apakah kita akan sanggup bertahan dengan alam yang telah kita rusak sendiri?

Namun pola hidup minim sampah adalah langkah kecil yang mampu kita lakukan, dalam cakupan yang juga kecil yaitu rumah dan diri kita sendiri. Bagaimana dengan gerakan pecinta lingkungan yang lebih besar? Saya senang sekali ketika menemukan informasi terkait WALHI. Selama ini saya pikir Indonesia tidak memiliki organisasi lokal sendiri yang sebagaimana Greenpeace, terus aktif dalam kampanye pelestarian lingkungan.

WALHI ternyata sudah lahir sejak 1980 ketika saya belum lahir, apalagi mengenal organisasi lingkungan sejenis. WALHI aktif dalam kampanye perubahan iklim dan cuaca, hutan dan pesisir, kedaulatan pangan dan energi serta kawasan ekosistem esensial. Sebagai organisasi pecinta lingkungan yang lahir dan tumbuh di Indonesia rasanya tidak bisa kita ragukan bahwa WALHI jelas lebih tahu kondisi lingkungan negara ini dibanding organisasi internasional sejenis.

Kita bisa support organisasi ini dengan kampanyenya yang lebih luas untuk lingkungan Indonesia dengan cara berdonasi di situsnya. Mudah dan saya tentu lebih suka berdonasi untuk WALHI dibanding organisasi lain. Selain pemahaman mereka terkait kondisi lingkungan actual Indonesia, juga dari aspek finansial... kita bisa mengatur donasi kita sesuai kemampuan dan kapan ada dana untuk donasi. Mengingat saya kurang suka organisasi yang menghimpun donasi tapi pilihannya selalu auto debet setiap bulan. Hehe. Ini sih pandangan personal ya.

Kalau teman-teman apa yang sedang teman-teman usahakan untuk lingkungan?
Saya masih dalam tahap memilah sampah dari rumah dan menyetorkan ke bank sampah untuk sampah-sampah yang diterima untuk daur ulang. Tapi saya masih belum sanggup bikin kompos sendiri karena phobia belatung.

2 comments:

  1. Iya jamur memang enak ya, mirip daging ayam dan sehat banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak bahkan di Surabaya makanan vegan juga bahan dasarnya dari jamur

      Delete